Kamis, 24 Maret 2011

“Boikot Media oleh Dipo Alam”

Diskusi Bulanan Fopersma Riau
Minggu 27 Februari 2011, di sekre Aklamasi UIR
Penjab LPM Gagasan UIN Suska.

Oleh Riyan Nofitra

MINGGU (27/2). Forum Pers Mahasiswa (Fopersma) Riau gelar diskusi, bertempat di sekretariat LPM Aklamasi Universitas Islam Rau (UIR). Kali ini, giliran Gagasan bawa bahan. Pemred Gagasan Arie Gunawan sebagai Penanggung Jawab. Ia sorot isu boikot media yang dilancarkan Sekretaris Kabinet RI, Dipo Alam saat rapat kerja pemerintah di Istana Bogor, Senin (21/2) lalu.

Media massa yang Dipo maksud yakni: Metro TV, TV One, dan Media Indonesia. Mereka dituding tidak akurat dalam sampaikan informasi, tidak berimbang, bahkan menjurus tendensius “Ada koran dan televisi yang setiap menit dan jam memberitakan soal keburukan. Sampai gambarnya di ulang-ulang setiap hari lalu menyebut pemerintah gagal sehingga terjadi misleading di masyarakat. Itu kan salah, boikot saja,” kata Dipo saat ditemui wartawan.

Dipo kemudian mengajak instansi pemerintah, agar tidak memasang iklan kepada media itu. Dipo juga minta pejabat tidak penuhi undangan dari media televisi yang memiliki tendensi tertentu.

Buat Dipo, boikot ini sama sekali tidak melanggar kebebasan pers. Alasannya selaku pihak yang memiliki uang berhak memasang iklan di media mana pun. Dia juga tidak takut seandainya di permasalahkan ke Dewan Pers.

Pernyataan Dipo jadi perhatian banyak pihak. Adnan Buyung Nasution, mantan Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) mengaku malu dengan seruan Dipo Alam untuk boikot media yang kritis kepada pemerintah.

Kata Buyung, harusnya Dipo tidak gunakan kedudukannya di pemerintah secara sewenang-wenang. Yang ia sayangkan, Dipo adalah mantan aktivis anti otoriter, karena Dipo pernah mengalami penindasan otoriterisme zaman orde baru.

“Saya malu, sedih dan kecewa berat. Malu dalam artian kok kawan sesama aktivis, yang saya ikut membelanya mati-matian bersama Rendra, tapi sekarang dia begitu.”

Pengamat politik Lembaga Survei Indonesia, Burhanudin Muhtadin mengatakan, penilaian kualitas media massa cukup dilakukan oleh publik, tidak perlu dinilai dan disikapi secara antagonis oleh pemerintah. “Kalau ada media yang tidak proporsional, saya rasa masyarakat yang akan nilai, masyarakat punya akal sehat.”

Menurut Burhan, media massa memiliki perannya menjalankan fungsi kontrol terhadap pemerintah. Terlepas dari kepentingan media massa itu sendiri, Dipo tidak sepantasnya melonatrkan pernyataan seperti di atas.

Pernyataan itu terlalu kontroversional, hanya akan merugikan pemerintah,” katanya.

Lain lagi dengan Kementerian Dalam Negeri, ia sependapat dengan apa yang dikatakan Sekreratis Kabinet Dipo Alam. Media sekarang hanya menampilkan sisi keburukan dari pemerintah tanpa memberi solusi. “Kita satu suara, kita sependapat dengan Pak Dipo,” kata Kepala Pusat Penerangan Kementrian Dalam Negeri, Donny Moenek.

Pernyataan Dipo Alam tersebut sekonyong-konyong buat lembaga pers gerah. Terutama tiga media massa ini: Media Indonesia, Metro TV dan TV One. Mereka melayangkan somasi kepada Dipo Alam. Metro TV diwakilkan Elman Saragih selaku Pimpinan Redaksi dan Saur Hutabarat selaku Direktur Pemberitaan Media Indonesia, Pengacara Oc Kaligis bertindak sebagai advokat media.

Dalam surat bernomor 360/OCK.II/2011. Mereka berikan alasan ihwal pernyataan Dipo tanggal 21 Februari 2011 tentang ajakan boikot media kepada instansi pemerintahan. Bagi mereka, ini semacam sikap pembungkaman informasi oleh media, dan Dipo telah melanggar undang-undang pers nomor 40 tahun 1999 ayat 1, pasal 51 Undang-Undang RI No. 14 tahun 2008, dan pasal 52 Undang-Undang RI No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Mereka layangkan somasi, isinya: agar saudara mengakui kesalahan saudara yang telah membungkam pers dan menutupi informasi kepada publik. Agar saudara meminta maaf kepada masyarakat. Apabila dalam 3x24 jam atau selambat-lambatnya pada pukul 12.00 tanggal 26 Februari 2011 saudara mengindahkan somasi. Kami segera akan melakukan upaya hukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku.


ARIE bertindak sebagai moderator. Diskusi dimulai pukul 17.10. Sebelumnya forum juga gelar evaluasi media: Aklamasi edisi majalah, laporan utama tentang potensi kekayaan Riau. Sementara koran Gagasan angkat isu seputar kampus: peralihan nama Dema ke BEM dan aksi protes mahasiswa terhadap pelayanan jurusan.

Kurang lebih 20 peserta hadir: LPM Bahana Mahasiswa Unri, Aklamasi UIR dan Gagasan UIN. Fopersma juga mengundang Tabloid Tekad, Ilmu Komunikasi Unri. Sementara Visi Unilak tak hadir.

Arie bacakan tor diskusi yang ia rangkum dari pelbagai media. “Bagaimana komentar kawan-kawan mengenai masalah ini?” Tanya Arie kepada Forum.

Seperti biasa, kuaci dan biscuit krackers jadi teman diskusi sore itu.

Rindi dari Tekad angkat bicara, ia tidak setuju dengan pernyataan Dipo alam tentang media yang kerap kali buat berita negatif. “Berita negatif dari media karena keinginan masyarakat, masyarakat lebih cenderung dengar berita negatif, TV One dan Metro TV juga banyak beritakan sisi positif dari pemerintah, Dipo harus kaji ulang kenapa media buat berita negatif. Pemerintah hanya tahu buat keputusan sebelah pihak dan tidak mau sosialisasikan dengan baik,”

Riyan Gagasan tidak setuju dengan boikot media, menurutnya masalah ini semacam kepentingan politik dari pihak yang bertikai. “Boikot sudah jelas ditujukan kepada Metro TV, Media Indonesia dan TV One. Media ini miliknya oposisi pemerintahan, Aburizal Bakrie dan Surya Paloh. Boleh jadi media dijadikan motor politik oleh pihak yang memiliki kepentingan itu. Kasus terbaru, kekalahan Partai Golkar dalam mengajukan hak angket mafia pajak.”

Hamid mengkritisi kinerja media yang tidak proporsinal “Media sangat lebay dalam pemberitaan, TV One tidak proporsional melainkan propaganda, selalu melebih-lebihkan berita biar terkesan lebih terdepan mengabarkan.”

“Dipo sudah melanggar Undang-Undang Pers nomor 40,” kata Puput. Puput melanjutkan, dalam Undang-Undang Pers Nomor 40 setiap instansi harus mempermudah kerja wartawan. Sebaliknya, media juga harus koreksi apa yang menjadi keresahan Dipo Alam.

“Media punya standarisasi jurnalisme yang dijelaskan dalam buku Sembilan Elemen Jurnalisme, media massa punya tanggung jawab terhadap warga, harus mengedapankan kebenaran, disiplin dalam verifikasi, dan mengontrol kekuasaan. Ini sudah dilaksanakan belum?” Tanya Puput. “Saya pikir banyak media massa yang lemah dalam verifikasi, sehingga pemberitaanya menjadi berita propaganda.”

Fadli membenarkan “Berarti dia menyuruh media itu mengoreksi , apakah yang media buat sudah sesuai dengan Sembilan Elemen Jurnalisme, tapi Dipo salah, mungkin karena emosi.”

Sementara itu, Riki mengatakan boikot media yang diwacanakan oleh Dipo Alam semacam sentimen pribadi yang sudah diputar balikkan kepada pemerintah. “Boikot media sebagai umpan balik kepada media massa, wacana yang dilemparkannya semacam mengaburkan permasalahan yang ada di masyarakat. Nasib Ahmadiyah dengan SKB Tiga Menteri sudah dikaburkan dengan masalah ini, media terus didorong bahas masalah boikot media Dipo Alam, sehingga Ahmadiyah semakin kabur, nasib Bank Century juga kita tidak tahu siapa dibalik semuanya.”

Aang tidak setuju dengan komentar Rindi yang pertama, tentang masyarakat lebih suka dengar berita negatif. “Karena belum dibuktikan dengan penelitian, memang TV One dan Metro tidak akurat dalam pemberitaan, wajar saja bila Dipo marah, aku juga tidak sepakat dengan pemboikotan.”

Menurut Aang, masalah ini merupakan pengalihan isu yang sudah disetting sedemikian rupa. “Termasuk juga soal angket pajak, toh Dipo Alam baru ngomong, belum ada yang di boikot. Lalu TV One membesar-besarkan, dibuat debat, dialog dan segala macam, sehingga masyarakat terpancing dan mengaburkan persoalan lain.”

Riki sepakat dengan Aang. “Wacana ini datangnya dari pemerintah, media tidak akan meninggalkan berita hangat, apalagi mengenai kawan senasib seperti Tv One dan Metro Tv. Media diarahkan kepada isu ini, tentunya kasus Ahmadiyah akan semakin kabur,bagaimana nasib mereka yang rumahnya dibakar, keluarga yang dibunuh. Itu belum jelas. Pemerintah ibarat melempar bola api, dia melempar suatu propaganda kepada media.”

Sementara Riyan Aklamasi tidak setuju masalah ini semacam pengalihan isu, menurutnya ini merupakan sebuah masalah yang tidak terselesaikan.”Saya pikir ini bukan pengalihan isu, tapi pihak terkait belum bisa menyelesaikan permasalahan dan timbul masalah baru.”

Menyikapi tulisan okezone.com berjudul: Kemendagri dukung Dipo Alam boikot media massa. Riyan Aklamasi menilai sudah ada respon dari pemerintah.

Kemudian Aang koreksi tulisan itu “kita satu suara, kita sependapat dengan Pak Dipo,” lalu tulisan yang berbunyi “Walaupun tidak secara terus terang akan memboikot media yan terlalu kritis, Dony mengatakan media massa sekarang sering kali tidak bisa bertanggung jawab dalam memberikan informasi.”

Bagi Aang, ini merupakan sebuah kontradiksi. “Media mengambil kutipan yang tidak utuh, ini jelas tidak sesuai dengan standar jurnalisme, kita jangan terpancing dengan hal seperti ini,” jelas Aang.

Jam menunjukkan pukul 18.10 Arie menutup diskusi. “Kesimpulannya, kita tidak setuju dengan seruan boikot oleh Dipo Alam karena menyalahi UU Pers Nomor 40 tahun 1999 dan mencederai semangat demokrasi dan kebebasan pers.” Forum juga tidak sepakat dengan media yang melebih-lebihkan pemberitaan suatu peristiwa, tanpa lakukan kajian dan verifikasi lebih lanjut hingga berujung pada propaganda. Sebagian peserta diskusi kemukakan bahwa masalah ini hanya pengalihan isu dari kasus besar sebelumnya. Hingga kasus tersebut tenggelam dan luput dari pemberitaan.

Usai sampaikan kesimpulan, Arie tutup diskusi singkat Fopersma Riau sore itu. “Bulan depan giliran Aklamasi yang taja diskusi.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar